08 February 2008

Perjalanan 41 jam (bagian 2)

Setelah menginap di pool travel bandara di kawasan Semanggi, dan dicederai janjinya karena akhirnya travel kami berangkat kembali menuju bandara pukul 5 pagi. Aku masih bersyukur karena ternyata nanti aku baru tahu karena aku menginap di pool travel itu akhirnya aku dapat tidur nyenyak dan dapat makan nasi dengan layak. Berbeda dengan dua orang temanku yang menghabiskan malamnya tanpa bisa makan, minum dan buang air dengan nyaman.

Jam 5 pagi travel kita berangkat lagi, dan mengejutkan karena ternyata jalur yang diambil sama dengan jalur kmarin. Dalam hati langsung berharap semoga banjir dikawasan itu berhenti. Tetapi tanda-tanda tak baik langsung terlihat di ujung jalan, saat antrian kendaraan tidak bergerak sama sekali. Kontak dengan salah satu teman yang sudah sampai bandara terlebih dulu aku mendapat info bahwa tiket yang kemarin masih bisa digunakan dan pesawat berangkat jam 12.50 siang. Mungkin karena memang kurang tidur akhirnya aku tertidur di bus cukup lama, dan baru bangun setelah jam 9. Rupanya banjir belum benar2 surut, karena selama aku tidur itu mobil baru bergerak sejauh 100 meter. Jam 10 pagi kepanikan mulai menghinggapiku, karena dengan laju kendaraan yang seperti ini kemungkinan aku sampai bandara sebelum jam 10 harapannya akan sangat tipis. Akhirnya aku putuskan untuk berjalan kaki sebentar sambil melihat kondisi lapangan.

Ternyata jarak menuju bandara sudah tidak jauh lagi, dan akhirnya kuputuskan untuk berjalan kaki dan menembus banjir. Kemudian muncul penyesalan dalam diri saat tahu dimana kendaraan kami putar arah kemarin itu jaraknya sudah sangat dekat dan jika saja kemarin aku berani menembus banjir maka dapat dipastikan aku hari ini sudah di Semarang Ternyata 5 jam perjalanan kami pagi ini jarak yang berhasil ditempuh tidak sampai setengah jarak kendaraan kami akhrinya berputar arah kemarin. Dengan pasang tampang sok tahu dan sok ga butuh aku menawar ojek gerobak untuk menembus banjir yang walaupun tak dalam, tapi malas juga untuk diseberangi dengan melihat kondisi airnya. Kesepakatan tercapai, untuk ojek gerobak itu aku membayar 10.000, dan itulah pengalamanku seumur-umur naik odong-odong. Disebelahku ada dua mbak cantik yang malah foto-foto dan seolah-olah sedang menikmati pelesir menggunakan yatch. Hehehe benar-benar luar biasa bangsaku ini, masih bisa mengambil kesenangan di kala hidupnya susah.

Sampai seberang genangan, aku mencari ojek yang mau mengantarkanku ke bandara. Dan harga kepepet itu memang mahal sekali, tukang ojek pada jual mahal tidak mau ditawar kurang dari 30.000. Daripada disuruh jalan kaki atau naik taksi maka harga 30.000 adalah harga yang pantas dibayar. Lagi-lagi aku disadarkan bahwa harga dan uang itu benar-benar sekedar alat pencatat nilai, dan nilai bergantung pada persepsi seseorang. Sepanjang jalan secara tidak sengaja
tukang ojek yang kusewa menjadi reporter dan menceritakan bagaimana kejadian ini merupakan hal yang sudah rutin terjadi dan orang-orang sana juga sudah terbiasa untuk hidup dengan keadaan seperti itu. Lagi-lagi aku kagum dengan bangsaku.

30.000 ternyata memang harga yang pantas untuk dibayar, karena ternyata jarak yang ditempuh lumayan jauh. Akhirnya aku bertemu dengan Norman dan Mbak Nanik, kedua rekan teamku. Mereka membawa cerita yang sama-sama serunya. Mbak Nanik terjebak didalam bus DAMRI di tol Bandara selama 12 jam dan baru bisa sampai bandara setelah naik perahu karet polisi yang mengevakuasi orang-orang yang terjebak disana dan dengan menyeberangi genangan setinggi pinggang. Dia baru sampai di bandara jam 3.30 pagi, sedangkan Norman lain lagi. Setelah dia melihat tidak mungkin menembus banjir dengan bus yang dia tumpangi, akhirnya dia memutuskan turun di pintu tol Sedyatmo dan bersama 3 orang lainnya berinisiatif mencharter taksi. Tapi nasib lebih malang menimpanya, taksi yang ditumpanginya masuk kedalam genangan sedalam 160 meter, dan akhirnya dia terpaksa mengevakuasi 4 orang yg berada di dalam taksi itu, karena tidak ada yg bisa berenang. Ditambah pula seluruh bajunya basah. Kejadian itu membuat dia akhirnya bersahabat dengan 3 orang kawan seperjalanannya itu, dan dia sampai di bandara karena diantar oleh salah satu sahabat barunya itu.

Sungguh malu aku pada bule-bule yang kutemui sepanjang perjalanan ini, karena di negara mereka hal seperti ini tidak mungkin terjadi. Ada dua orang bule yang marah-marah karena jadwalnya jadi mundur 4 jam karena kondisi ini, tetapi akhirnya mereka tertawa dan bersyukur saat tahu bahwa kami bertiga telah 28 jam di jalan dan terjebak banjir. Mungkin memang saatnya kita sebagai bangsa benar-benar melakukan apa yang kita ucapkan, sehingga hal-hal seperti ini tidak terulang lagi di masa yang akan datang.

Waktu check-in pun tiba, kami masuk boarding room pukul 12.00, tetapi aroma kejanggalan juga terasa disini. Boarding room dan sepanjang koridor menuju boarding room dipenuhin orang, hingga bandara tampak seperti kamp pengungsian. Rupanya orang-orang itu adalah orang-orang yang terjebak banjir dan menunggu pesawatnya diberangkatkan dari kemarin. Menunggu sampai jam 2 siang tidak ada tanda-tanda penumpang ke semarang akan diberangkatkan, dan bertanya pada salah satu petugas counter ternyata pesawat akan di delay keberangkatannya sampai jam 4, itupun belum pasti karena pesawatnya belum ada. Daripada mengeluarkan energi percuma dengan marah, maka kami bertiga keluar boarding room dan mencari makan. Tidak semua orang bisa seperti itu, banyak sekali perdebatan, caci maki ataupun nada-nada marah di bandara hari itu. Kondisinya memang menekan semua orang dan tidak semua orang cukup sabar menyikapi keadaan yang ada. Yang lebih menyebalkan lagi tidak ada manajer operasional yang ada ditempat untuk menangani kasus-kasus yang tidak bisa diputuskan petugas lapangan. Sungguh contoh manajemen yang buruk, tabah ya mbak dan mas-mas yang menerima segala cacian dan kemarahan para penumpang.


Jam 3.45 kami masuk lagi ke boarding room dan lagi-lagi keberangkatan pesawat di delay sampai jam 4.30. Jam 4.30 berlalu dan ternyata pesawat di delay (LAGI...!!) sampai jam 5. Kami sudah tak berharap banyak dan berpikir untuk membatalkan rencana pergi ke Semarang, karena training disana hanya satu hari, dan rasanya percuma jika kami tiba disana hanya untuk membantu selama 2 jam. Tapi kami memutuskan untuk berangkat juga. Sepanjang perjalanan, pesawat benar-benar melewati cuaca yang buruk. Badan pesawat bergerak ke kanan dan ke kiri. Di luar sana petir terlihat sambar menyambar dari kejauhan. Dalam keadaan seperti itu terasa sekali bahwa jika memang Tuhan berkehendak maka begitu mudah bagi-Nya untuk mencabut nyawa kami. Saat mendekati saat-saat landing, keadaan lebih parah, karena ternyata di Semarangpun hujan deras. Saat akan landing, di detik-detik terakhir tiba-tiba pesawat naik lagi keatas dan dari pengeras suara pramugari mengumumkan pesawat batal landing dan kembali ke Jakarta sampai diumumkan bahwa bandara di Semarang aman untuk pendaratan.

Sungguh hari yang mengejutkan..!! Begitu mendarat di Jakarta kami langsung menelepon ke Semarang dan memutuskan tidak berangkat kembali. Penumpang yang lain masih banyak yang bertahan dikursinya, karena setelah mengisi bahan bakar pesawat akan diberangkatkan lagi.

Bersambung